Ekosistem
hutan mangrove berada di zona pasang surut seperti
rawa-rawa, laguna, muara sungai dan pantai di daerah pesisir tropis dan subtropis yang relatif
terlindung, mengandung endapan lumpur dan lereng endapan tidak lebih dari 0,25
- 0,50%, tersusun atas pohon dan semak, serta toleran terhadap garam. Ekosistem
hutan mangrove luasnya
hanya 2% dari permukaan bumi, sehingga menjadi salah satu ekosistem yang langka
di dunia. Menurut International Union for
Conservation of Nature (IUCN),
dari total luas hutan mangrove
tersebut sekitar 75% berada di
15 negara dimana hanya 6,9% yang dilindungi.
Indonesia mempunyai
hutan mangrove terluas di dunia dengan luas sekitar 3,2
juta ha yang merupakan 22,6% dari total hutan mangrove dunia (Kelompok Kerja Mangrove Tingkat Nasional, 2013; DasGupta dan Shaw, 2013).
Namun menurut Fitri dan Anwar (2014) bahwa pada 2 sampai 3 dekade ini hampir
50% dari total mangrove di Indonesia telah
hilang, dari sekitar 6,7 juta ha tinggal menjadi sekitar 3,2 juta ha. Pulau Jawa
dan Bali merupakan pulau dengan kerusakan paling besar yaitu sekitar 88%.
Sebelumnya kedua pulau ini memiliki sekitar 171.500 ha, namun saat ini tinggal
sekitar 19.577 ha.
Aktivitas manusia (antropogenik) memberikan
sumbangan terbesar terhadap kerusakan hutan mangrove di Indonesia. Konversi hutan mangrove untuk perikanan, perkebunan, pertanian, tambak
garam, pemukiman, industri, pertanian, penebangan hutan (legal logging dan
illegal logging) dan tambang merupakan aktivitas antropogenik utama penyebab
degradasi dan hilangnya hutan mangrove
di negara Indonesia (Ilman et al., 2011).
Peran Hutan Mangrove secara Ekologis
Menurut Haryani (2013), hutan mangrove memiliki manfaat dan
fungsi yang sangat penting bagi ekosistem hutan, air dan lingkungan, baik
secara fisik, biologi maupun ekonomi. Hutan mangrove berperan sebagai habitat satwa, pelindung terhadap
bencana alam, pengendap lumpur, penambah unsur hara, penambat racun, sumber
alam dalam kawasan (in-situ) dan luar kawasan (ex-situ), media
transportasi, sumber plasma nutfah, tempat rekreasi dan pariwisata, sarana
pendidikan dan penelitian, memelihara proses-proses dan sistem alami, penyerap
karbon, memelihara iklim mikro, serta mencegah berkembangnya tanah sulfat masam,
Setyawan
dan Winarno (2006) berpendapat bahwa ekosistem hutan mangrove memiliki fungsi ekologis sebagai tempat sekuestrasi karbon;
remediasi bahan pencemar; menjaga
stabilitas pantai dari abrasi, intrusi air laut, dan gelombang badai; menjaga kealamian habitat; menjadi tempat bersarang, pemijahan dan pembesaran
berbagai jenis ikan, udang, kerang,
burung dan fauna lain, serta pembentuk daratan. Menrut Eddy et al. (2015), secara sosial- ekonomi ekosistem ini menyediakan
kebutuhan kayu bangunan, kayu bakar,
kayu lapis, bubur kertas, tiang telepon, tiang pancang, bagan penangkap ikan, dermaga, bantalan
kereta api, kayu untuk mebel dan kerajinan
tangan, atap huma, tannin, bahan obat, gula, alkohol, asam asetat, protein hewani, madu,
karbohidrat, dan bahan pewarna, serta memiliki
fungsi sosial-budaya sebagai areal konservasi, pendidikan, ekoturisme dan identitas budaya.
Kondisi
Hutan Mangrove di Indonesia
Kawasan Asia Tenggara hampir 60% hutan mangrove berada di Indonesia. Sementara sisanya
berada di Malaysia (11,7%),
Myanmar (8,8%), Papua New Guinea (8,7%), Thailand (5,0%) dan beberapa negara
lainnya. Sebaran hutan mangrove
di Indonesia didominasi
oleh pulau-pulau besar, yaitu Papua (55%), Sumatera (19%) dan Kalimantan (16%),
serta sebagian tersebar di
Sulawesi dan Jawa, dimana jumlah spesies mangrove yang ditemukan di Indonesia sebanyak
43 spesies (Giesen et al., 2007; DasGupta dan Shaw, 2013).
Sementara itu beberapa data menunjukkan jumlah yang
berbeda-beda terhadap spesies tumbuhan yang mendiami hutan mangrove Indonesia. Sukardjo
(1984) dalam Eddy et al. (2015), menyatakan bahwa hutan mangrove Indonesia terdiri
dari 89 spesies, terdiri dari 35 spesies tumbuhan pohon, 9 spesies terna, 5
spesies perdu, 9 spesies liana, 29 spesies epifit, dan 2 spesies tumbuhan parasit.
Kusmana (1993) dalam Kusmana (2009), melaporkan bahwa terdapat sekitar 130
spesies tumbuhan hutan mangrove di 11
negara Asia-Pasifik, diantaranya terdapat di Indonesia sebanyak 101 spesies. Sementara itu Noor et
al., (1999) dalam Komite Nasional Pengelolaan Ekosistem Lahan Basah
(2004) melaporkan bahwa Indonesia memiliki
sebanyak 202 spesies tumbuhan mangrove
yang terdiri dari 89 spesies pohon, 5 spesies palem, 19 spesies liana, 44
spesies epifit, dan 1 spesies sikas. Sekitar 47 spesies diantaranya merupakan
tumbuhan spesifik hutan mangrove.
Eddy et al. (2015), perbedaan data jumlah spesies hutan mangrove Indonesia seperti di atas dapat terjadi karena data
diperoleh pada waktu 22yang berbeda, sehingga jumlah spesies yang teridentifikasi
kemungkinkan akan bertambah atau berkurang sejalan dengan bertambahnya waktu.
Degradasi Hutan Mangrove di Indonesia Akibat
Pengaruh Antropogenik
Ekosistem hutan mangrove bersifat kompleks
(dipenuhi oleh vegetasi dan sekaligus habitat bagi beraneka ragam satwa dan
biota perairan), dinamis (kemampuannya untuk dapat tumbuh dan berkembang terus serta
mengalami suksesi mengikuti perubahan habitat alaminya) serta labil (mudah
rusak akibat gangguan dan sulit untuk dipulihkan). Indonesia mempunyai hutan
mangrove paling luas di dunia. Kementerian Negara Lingkungan Hidup tahun 2006 melaporkan
luas hutan mangrove Indonesia mencapai 4,3 juta hektar, sedangkan menurut FAO,
Indonesia mempunyai hutan mangrove mencapai 3,1 juta hektar pada tahun 2005,
yang merupakan 19% dari total luas hutan mangrove di seluruh dunia. Walaupun
hutan mangrove Indonesia terluas di dunia namun mengalami degradasi secara sistematis
akibat aktivitas antropogenik dimana degradasinya rata-rata mencapai 14%
pertahun (Eddy et al., 2015).
Menurut Raymond et al. (2010) pada tahun
1982 luas hutan mangrove Indonesia sekitar 4,25 juta ha, namun pada tahun 1996
yang tersisa tinggal sekitar 3,53 juta ha, atau telah berkurang sekitar 700
ribu ha dan hal ini terjadi hampir di seluruh kepulauan Indonesia. Sementara
itu Ilman et al. (2011) dan Kusmana (2014) melaporkan bahwa pada tahun 2000
Indonesia masih memiliki hutan mangrove lebih kurang 7.758.410 ha, dengan
rincian 30,7% dalam kondisi baik, 27,4% rusak ringan dan 41,9% rusak berat,
namun pada tahun 2009 yang tersisa diperkirakan tinggal 3.244.018 ha. Hal ini
menunjukkan bahwa dalam periode lebih kurang 9 tahun tersebut lebih dari 4,5
juta ha hutan mangrove Indonesia hilang.
Menurut laporan Hutchison et al. (2013)
walaupun Indonesia memiliki rata-rata total global biomasa tegakan/above-ground
biomass (AGB) hutan mangrove tertinggi di dunia (729.075.000 ton) dengan
hutan mangrove terluas (2.986.496 ha), tetapi Indonesia termasuk negara dengan
kecepatan kehilangan hutan mangrove yang tinggi pula (Hutchison et al.,
2013). Kondisi hutan mangrove di Indonesia terus mengalami kerusakan dan
pengurangan luas dengan kecepatan kerusakan mencapai 530.000 ha/tahun,
sementara laju penambahan luas areal rehabilitasi mangrove yang dapat
terealisasi masih jauh lebih lambat dibandingkan dengan laju kerusakannya,
yaitu hanya sekitar 1.973 ha/tahun.
Menurut Giri et al. (2008) dalam
Laulikitnont (2014), bahwa konversi hutan mangrove menjadi lahan budidaya
perikanan/tambak dan pertanian merupakan penyebab utama degradasi hutan
mangrove di Indonesia. Ilman et al. (2011) dan Eong (1995) dalam
Hamzah dan Setiawan (2010) berpendapat bahwa aktivitas antropogenik dalam
bentuk perikanan, perkebunan, pertanian,
tambak garam, pemukiman, industri, penebangan hutan (legal logging dan illegal
logging) dan tambang merupakan faktor utama degradasi dan hilangnya hutan mangrove
di Indonesia. Sementara itu Kustanti et al. (2012) berpendapat bahwa
lebih dari 50% hutan mangrove terdegradasi atau hilang disebabkan oleh beberapa
faktor, seperti konversi hutan mangrove untuk perikanan, urbanisasi, pencemaran
oleh limbah minyak dan industri dan kurangnya kesadaran masyarakat.
Menurunnya kualitas dan kuantitas hutan mangrove
mengakibatkan dampak terhadap peningkatan abrasi, penurunan tangkapan nelayan, peningkatan
intrusi air laut dan peningkatan angka kejadian malaria. Kerusakan mangrove
berdampak pada penurunan volume dan keragaman jenis ikan yang ditangkap, ikan
menjadi langka dan beberapa jenis ikan menjadi hilang, dan kelompok yang paling
besar terkena dampak adalah nelayan (Eddy et al., 2015).
Daftar Pustaka :
Eddy, S., A. Mulyana, M. R. Ridho dan I. Iskandar.
2015. Dampak Aktivitas Antropogenik Terhadap Degradasi Hutan Mangrove di
Indonesia. Jurnal Lingkungan dan Pembangunan, 1 (3) : 240 – 254.
DasGupta, R. dan R, Shaw. 2013. Cumulative Impacts
of Human Interventions and Climate Change on Mangrove Ecosystems of South and
Southeast Asia: An Overview. Journal of Ecosystems 1-15.
Fitri, R.Y. dan K. Anwar. 2014. Kebijakan
Pemerintah terhadap Pelestarian Hutan Mangrove di Kecamatan Tebing Tinggi Kabupaten
Bengkalis. Jom FISIP 1(2):1-15.
Ilman, M. I.T.C. Wibisono dan I.N.M. Suryadiputra.
2011. State of the Art Information on Mangrove Ecosystems in Indonesia.
Wetlands International-Indonesia Programme. Bogor.
Haryani, N.S. 2013. Analisis Perubahan Hutan
Mangrove Menggunakan
Citra Landsat. Jurnal Ilmiah Widya 1(1): 72-77.
Setyawan, A.D.
dan K. Winarno. 2006. Pemanfaatan Langsung Ekosistem Mangrove
di Jawa Tengah dan Penggunaan Lahan di Sekitarnya; Kerusakan
dan Upaya Restorasinya. Biodiversitas 7(3):
282-291.
Kusmana, C.
2009. Pengelolaan Sistem Mangrove Secara Terpadu. Workshop
Pengelolaan Ekosistem Mangrove di Jawa Barat, Jatinangor.
Komite Nasional
Pengelolaan Ekosistem Lahan Basah. 2004. Strategi Nasional
dan Rencana Aksi Pengelolaan Lahan Basah Indonesia. Kementerian
Lingkungan Hidup. Jakarta.
Kusmana, C.
2014. Distribution and Current Status of Mangrove Forest in
Indonesia. Dalam Hanum, F. Latiff, A. Hakeem, K.R. dan Ozturk, M. (Eds.),
Mangrove Ecosystems of Asia: Status, Challenges and
Management Strategies (37-60). Springer
Science+Business Media. New York.
Raymond, G.P.,
N. Harahap dan Soemarno. 2010. Pengelolaan Hutan Mangrove
Berbasis Masyarakat di Kecamatan Gending, Probolinggo.
Jurnal
Agritek 18
(2):185-200.
Hutchison, J.,
A. Manica, R. Swetnam, A. Balmford and M. Spalding. 2013. Predicting
Global Patterns in Mangrove Forest Biomass. Conservation
Letters 00:1-8.
Laulikitnont, P.
2014. Evaluation of Mangrove Ecosystem Restoration Success
in Southeast Asia. Master’s Projects. University of San Francisco.
Hamzah, F. dan A.
Setiawan. 2010. Akumulasi Logam Berat Pb, Cu dan Zn di Hutan
Mangrove Muara Angke, Jakarta Utara. Jurnal Ilmu dan Teknologi
Kelautan Tropis 2(2): 41-52
Kustanti, A., B.
Nugroho, D. Darusman dan C. Kusmana. 2012. Integrated Management
of Mangorves Ecosystem in Lampung Mangrove Center
(LMC) East Lampung Regency, Indonesia. Journal of CoastalDevelopment 15(2):
209-216.