Tuesday, January 19, 2021

Apa Kabar Sabuk Hijau (Green Belt) Mangrove Indonesia?

Apa Kabar Sabuk Hijau (Green Belt) Mangrove Indonesia?


Ekosistem hutan mangrove berada di zona pasang surut seperti rawa-rawa, laguna, muara sungai dan pantai di daerah pesisir tropis dan subtropis yang relatif terlindung, mengandung endapan lumpur dan lereng endapan tidak lebih dari 0,25 - 0,50%, tersusun atas pohon dan semak, serta toleran terhadap garam. Ekosistem hutan mangrove luasnya hanya 2% dari permukaan bumi, sehingga menjadi salah satu ekosistem yang langka di dunia.  Menurut International Union for Conservation of Nature (IUCN), dari total luas hutan mangrove tersebut sekitar 75% berada di 15 negara dimana hanya 6,9% yang dilindungi.

Indonesia mempunyai hutan mangrove terluas di dunia dengan luas sekitar 3,2 juta ha yang merupakan 22,6% dari total hutan mangrove dunia (Kelompok Kerja Mangrove Tingkat Nasional, 2013; DasGupta dan Shaw, 2013). Namun menurut Fitri dan Anwar (2014) bahwa pada 2 sampai 3 dekade ini hampir 50% dari total mangrove di Indonesia telah hilang, dari sekitar 6,7 juta ha tinggal menjadi sekitar 3,2 juta ha. Pulau Jawa dan Bali merupakan pulau dengan kerusakan paling besar yaitu sekitar 88%. Sebelumnya kedua pulau ini memiliki sekitar 171.500 ha, namun saat ini tinggal sekitar 19.577 ha.

Aktivitas manusia (antropogenik) memberikan sumbangan terbesar terhadap kerusakan hutan mangrove di Indonesia. Konversi hutan mangrove untuk perikanan, perkebunan, pertanian, tambak garam, pemukiman, industri, pertanian, penebangan hutan (legal logging dan illegal logging) dan tambang merupakan aktivitas antropogenik utama penyebab degradasi dan hilangnya hutan mangrove di negara Indonesia (Ilman et al., 2011).

Peran Hutan Mangrove secara Ekologis

Menurut Haryani (2013), hutan mangrove memiliki manfaat dan fungsi yang sangat penting bagi ekosistem hutan, air dan lingkungan, baik secara fisik, biologi maupun ekonomi. Hutan mangrove berperan sebagai habitat satwa, pelindung terhadap bencana alam, pengendap lumpur, penambah unsur hara, penambat racun, sumber alam dalam kawasan (in-situ) dan luar kawasan (ex-situ), media transportasi, sumber plasma nutfah, tempat rekreasi dan pariwisata, sarana pendidikan dan penelitian, memelihara proses-proses dan sistem alami, penyerap karbon, memelihara iklim mikro, serta mencegah berkembangnya tanah sulfat masam,

Setyawan dan Winarno (2006) berpendapat bahwa ekosistem hutan mangrove memiliki fungsi ekologis sebagai tempat sekuestrasi karbon; remediasi bahan pencemar; menjaga stabilitas pantai dari abrasi, intrusi air laut, dan gelombang badai; menjaga kealamian habitat; menjadi tempat bersarang, pemijahan dan pembesaran berbagai jenis ikan, udang, kerang, burung dan fauna lain, serta pembentuk daratan. Menrut Eddy et al. (2015), secara sosial- ekonomi ekosistem ini menyediakan kebutuhan kayu bangunan, kayu bakar, kayu lapis, bubur kertas, tiang telepon, tiang pancang, bagan penangkap ikan, dermaga, bantalan kereta api, kayu untuk mebel dan kerajinan tangan, atap huma, tannin, bahan obat, gula, alkohol, asam asetat, protein hewani, madu, karbohidrat, dan bahan pewarna, serta memiliki fungsi sosial-budaya sebagai areal konservasi, pendidikan, ekoturisme dan identitas budaya.

Kondisi Hutan Mangrove di Indonesia

Kawasan Asia Tenggara hampir 60% hutan mangrove berada di Indonesia. Sementara sisanya berada di Malaysia (11,7%), Myanmar (8,8%), Papua New Guinea (8,7%), Thailand (5,0%) dan beberapa negara lainnya. Sebaran hutan mangrove di Indonesia didominasi oleh pulau-pulau besar, yaitu Papua (55%), Sumatera (19%) dan Kalimantan (16%), serta sebagian tersebar di Sulawesi dan Jawa, dimana jumlah spesies mangrove yang ditemukan di Indonesia sebanyak 43 spesies (Giesen et al., 2007; DasGupta dan Shaw, 2013).

Sementara itu beberapa data menunjukkan jumlah yang berbeda-beda terhadap spesies tumbuhan yang mendiami hutan mangrove Indonesia. Sukardjo (1984) dalam Eddy et al. (2015), menyatakan bahwa hutan mangrove Indonesia terdiri dari 89 spesies, terdiri dari 35 spesies tumbuhan pohon, 9 spesies terna, 5 spesies perdu, 9 spesies liana, 29 spesies epifit, dan 2 spesies tumbuhan parasit. Kusmana (1993) dalam Kusmana (2009), melaporkan bahwa terdapat sekitar 130 spesies tumbuhan hutan mangrove di 11 negara Asia-Pasifik, diantaranya terdapat di Indonesia sebanyak 101 spesies. Sementara itu Noor et al., (1999) dalam Komite Nasional Pengelolaan Ekosistem Lahan Basah (2004) melaporkan bahwa Indonesia memiliki sebanyak 202 spesies tumbuhan mangrove yang terdiri dari 89 spesies pohon, 5 spesies palem, 19 spesies liana, 44 spesies epifit, dan 1 spesies sikas. Sekitar 47 spesies diantaranya merupakan tumbuhan spesifik hutan mangrove. Eddy et al. (2015), perbedaan data jumlah spesies hutan mangrove Indonesia seperti di atas dapat terjadi karena data diperoleh pada waktu 22yang berbeda, sehingga jumlah spesies yang teridentifikasi kemungkinkan akan bertambah atau berkurang sejalan dengan bertambahnya waktu.

Degradasi Hutan Mangrove di Indonesia Akibat Pengaruh Antropogenik

Ekosistem hutan mangrove bersifat kompleks (dipenuhi oleh vegetasi dan sekaligus habitat bagi beraneka ragam satwa dan biota perairan), dinamis (kemampuannya untuk dapat tumbuh dan berkembang terus serta mengalami suksesi mengikuti perubahan habitat alaminya) serta labil (mudah rusak akibat gangguan dan sulit untuk dipulihkan). Indonesia mempunyai hutan mangrove paling luas di dunia. Kementerian Negara Lingkungan Hidup tahun 2006 melaporkan luas hutan mangrove Indonesia mencapai 4,3 juta hektar, sedangkan menurut FAO, Indonesia mempunyai hutan mangrove mencapai 3,1 juta hektar pada tahun 2005, yang merupakan 19% dari total luas hutan mangrove di seluruh dunia. Walaupun hutan mangrove Indonesia terluas di dunia namun mengalami degradasi secara sistematis akibat aktivitas antropogenik dimana degradasinya rata-rata mencapai 14% pertahun (Eddy et al., 2015).

Menurut Raymond et al. (2010) pada tahun 1982 luas hutan mangrove Indonesia sekitar 4,25 juta ha, namun pada tahun 1996 yang tersisa tinggal sekitar 3,53 juta ha, atau telah berkurang sekitar 700 ribu ha dan hal ini terjadi hampir di seluruh kepulauan Indonesia. Sementara itu Ilman et al. (2011) dan Kusmana (2014) melaporkan bahwa pada tahun 2000 Indonesia masih memiliki hutan mangrove lebih kurang 7.758.410 ha, dengan rincian 30,7% dalam kondisi baik, 27,4% rusak ringan dan 41,9% rusak berat, namun pada tahun 2009 yang tersisa diperkirakan tinggal 3.244.018 ha. Hal ini menunjukkan bahwa dalam periode lebih kurang 9 tahun tersebut lebih dari 4,5 juta ha hutan mangrove Indonesia hilang.

Menurut laporan Hutchison et al. (2013) walaupun Indonesia memiliki rata-rata total global biomasa tegakan/above-ground biomass (AGB) hutan mangrove tertinggi di dunia (729.075.000 ton) dengan hutan mangrove terluas (2.986.496 ha), tetapi Indonesia termasuk negara dengan kecepatan kehilangan hutan mangrove yang tinggi pula (Hutchison et al., 2013). Kondisi hutan mangrove di Indonesia terus mengalami kerusakan dan pengurangan luas dengan kecepatan kerusakan mencapai 530.000 ha/tahun, sementara laju penambahan luas areal rehabilitasi mangrove yang dapat terealisasi masih jauh lebih lambat dibandingkan dengan laju kerusakannya, yaitu hanya sekitar 1.973 ha/tahun.

Menurut Giri et al. (2008) dalam Laulikitnont (2014), bahwa konversi hutan mangrove menjadi lahan budidaya perikanan/tambak dan pertanian merupakan penyebab utama degradasi hutan mangrove di Indonesia. Ilman et al. (2011) dan Eong (1995) dalam Hamzah dan Setiawan (2010) berpendapat bahwa aktivitas antropogenik dalam bentuk perikanan, perkebunan,  pertanian, tambak garam, pemukiman, industri, penebangan hutan (legal logging dan illegal logging) dan tambang merupakan faktor utama degradasi dan hilangnya hutan mangrove di Indonesia. Sementara itu Kustanti et al. (2012) berpendapat bahwa lebih dari 50% hutan mangrove terdegradasi atau hilang disebabkan oleh beberapa faktor, seperti konversi hutan mangrove untuk perikanan, urbanisasi, pencemaran oleh limbah minyak dan industri dan kurangnya kesadaran masyarakat.  

Menurunnya kualitas dan kuantitas hutan mangrove mengakibatkan dampak terhadap peningkatan abrasi, penurunan tangkapan nelayan, peningkatan intrusi air laut dan peningkatan angka kejadian malaria. Kerusakan mangrove berdampak pada penurunan volume dan keragaman jenis ikan yang ditangkap, ikan menjadi langka dan beberapa jenis ikan menjadi hilang, dan kelompok yang paling besar terkena dampak adalah nelayan (Eddy et al., 2015).

 

Daftar Pustaka :

Eddy, S., A. Mulyana, M. R. Ridho dan I. Iskandar. 2015. Dampak Aktivitas Antropogenik Terhadap Degradasi Hutan Mangrove di Indonesia. Jurnal Lingkungan dan Pembangunan, 1 (3) : 240 – 254.

 

DasGupta, R. dan R, Shaw. 2013. Cumulative Impacts of Human Interventions and Climate Change on Mangrove Ecosystems of South and Southeast Asia: An Overview. Journal of Ecosystems 1-15.

 

Fitri, R.Y. dan K. Anwar. 2014. Kebijakan Pemerintah terhadap Pelestarian Hutan Mangrove di Kecamatan Tebing Tinggi Kabupaten Bengkalis. Jom FISIP 1(2):1-15.

 

Ilman, M. I.T.C. Wibisono dan I.N.M. Suryadiputra. 2011. State of the Art Information on Mangrove Ecosystems in Indonesia. Wetlands International-Indonesia Programme. Bogor.

 

Haryani, N.S. 2013. Analisis Perubahan Hutan Mangrove Menggunakan
Citra Landsat. Jurnal Ilmiah Widya 1(1): 72-77.

Setyawan, A.D. dan K. Winarno. 2006. Pemanfaatan Langsung Ekosistem Mangrove di Jawa Tengah dan Penggunaan Lahan di Sekitarnya; Kerusakan dan Upaya Restorasinya. Biodiversitas 7(3): 282-291.

Kusmana, C. 2009. Pengelolaan Sistem Mangrove Secara Terpadu. Workshop Pengelolaan Ekosistem Mangrove di Jawa Barat, Jatinangor.

Komite Nasional Pengelolaan Ekosistem Lahan Basah. 2004. Strategi Nasional dan Rencana Aksi Pengelolaan Lahan Basah Indonesia. Kementerian Lingkungan Hidup. Jakarta.

Kusmana, C. 2014. Distribution and Current Status of Mangrove Forest in Indonesia. Dalam Hanum, F. Latiff, A. Hakeem, K.R. dan Ozturk, M. (Eds.), Mangrove Ecosystems of Asia: Status, Challenges and Management Strategies (37-60). Springer Science+Business Media. New York.

Raymond, G.P., N. Harahap dan Soemarno. 2010. Pengelolaan Hutan Mangrove Berbasis Masyarakat di Kecamatan Gending, Probolinggo. Jurnal Agritek 18 (2):185-200.

Hutchison, J., A. Manica, R. Swetnam, A. Balmford and M. Spalding. 2013. Predicting Global Patterns in Mangrove Forest Biomass. Conservation Letters 00:1-8.

Laulikitnont, P. 2014. Evaluation of Mangrove Ecosystem Restoration Success in Southeast Asia. Master’s Projects. University of San Francisco.

Hamzah, F. dan A. Setiawan. 2010. Akumulasi Logam Berat Pb, Cu dan Zn di Hutan Mangrove Muara Angke, Jakarta Utara. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis 2(2): 41-52

Kustanti, A., B. Nugroho, D. Darusman dan C. Kusmana. 2012. Integrated Management of Mangorves Ecosystem in Lampung Mangrove Center (LMC) East Lampung Regency, Indonesia. Journal of CoastalDevelopment 15(2): 209-216.



Saturday, January 16, 2021

MONITORING LINGKUNGAN PANTAI TIRANG SEMARANG

 

MONITORING LINGKUNGAN PANTAI TIRANG SEMARANG

 

Pantai Tirang sendiri merupakan salah satu pantai yang langsung bersebelahan dengan Pantai Maron. Pantai Tirang berada di Desa Tambakrejo, Kecamatan Tugu, Kota Semarang, Jawa Tengah. Lokasi Pantai Tirang dengan pantai Maron sangatlah dekat hanya dipisahkan dengan muara sungai Silandak. Posisi pantai maron ada dibagian timur sedangkan Pantai Tirang ada dibagian baratnya muara Sungai Silandak. Di sekitar wilayah Pantai Tirang terdapat banyak pohon mangrove yang menambah keindahan Pantai Tirang.

Menurut Greenpeace (2006), sampah laut atau marine debris adalah semua material berbentuk padatan yang tidak dijumpai secara alami (merupakan produk kegiatan manusia) di wilayah perairan (Samudra, Lautan, Pantai) dan dapat memberikan ancaman secara langsung terhadap kondisi dan produktivitas wilayah perairan serta memerlukan aksi spesifik tertentu untuk mencegah dan meminimalisir efek negatifnya. Sampah lautan dapat ditransport oleh arus laut dan angin dari satu tempat ke tempat lainnya, bahkan dapat menempuh jarak yang sangat jauh dari sumbernya.

Kelompok studi C.Fish melakukan monitoring lingkungan di Pantai Tirang dengan tujuan untuk mengetahui klasifikasi sampah laut yang ada secara berkala. Monitoring dilakukan 3 kali pada tahun 2020, yaitu pada tanggal 14 Maret, 19 September, dan 4 Desember. Berikut ini merupakan hasil data dari monitoring sampah laut di Pantai Tirang, Semarang :




    Dari hasil monitoring tersebut, dapat disimpulkan bahwa sampah yang mendominasi adalah jenis plastik dan karet.

Sampah plastik merupakan masalah besar, bukan hanya di Indonesia, tetapi di seluruh dunia. Menurut Kemenperin (2013), sekitar 1,9 juta ton plastik diproduksi selama tahun 2013 di Indonesia, dengan rata-rata produksi 1,65 juta ton/tahun. Thompson et al., (2009) memperkirakan bahwa 10% dari semua plastik yang baru diproduksi akan dibuang melalui sungai dan berakhir di laut. Hal ini berarti sekitar 165 ribu ton plastik/tahun akan bermuara ke perairan laut Indonesia. Sekitar 10% dari seluruh plastik, menjadi sampah di lautan dunia melalui pembuangan yang disengaja dan penanganan yang tidak tepat (Wright et al., 2013). Plastik merupakan tipe sampah laut yang dominan (CBD-STAP, 2012). Polusi plastik telah ditemukan dalam habitat laut dari kutub ke khatulistiwa dan dari garis pantai ke laut dalam (Browne et al., 2011). Kategori ukuran digunakan untuk mengklasifikasikan marine debris, yaitu mega plastik debris (> 100 mm), makro plastik debris (> 20-100 mm), meso plastik debris (> 5-20 mm), dan mikro plastik debris (0.3-5 mm).

Secara spesifik, dalam rangka menangani sampah plastik di laut, pemerintah telah meluncurkan Rencana Aksi Nasional (RAN) Pengelolaan Sampah Plastik di Laut 2017-2025. Dokumen tersebut diharapkan menjadi arahan strategis dalam akselerasi penanggulangan sampah plastik di laut untuk periode 9 tahun. Secara garis besar, program strategis yang dijalankan antara lain menyasar: (1) Pemerintah daerah, melalui penguatan kapasitas SDM, pembiayaan, manajemen infrastruktur, perubahan sikap, serta mengembangkan manajemen persampahan pesisir yang terintegrasi; (2) Pemerintah pusat, melalui edukasi dan kampanye peningkatan kesadaran, mendorong program waste to energy (WTE), membuat payung hukum program kantung plastik berbayar, mendorong pemanfaatan sampah plastik sebagai campuran aspal, dan memperkuat aturan mengenai manajemen sampah di pelabuhan, pelayaran, dan perikanan (3) Dunia internasional, dengan menggalang komitmen bersama pengurangan sampah plastik di laut melalui kerjasama bilateral dan regional; (4) Industri, melalui peningkatan penggunaan bahan plastik biodegradable, peningkatan investasi industri plastik biodegradable, dan mengenalkan konsep circular economy; (5) Akademisi dan NGO, melalui kampanye, penelitian, dan pengembangan bank sampah.

 

DAFTAR PUSTAKA

Browne, M.A., P. Crump, S.J. Niven, E. Teuten, A. Tonkin, T. Galloway and R.C.Thompson. 2011. Accumulation of Microplastic on Shorelines Worldwide: Sources and Sinks. Env. Sci. and Tech. 45: 9175-9179.

 

Greenpeace, 2006. Eating Up Amazon. Greenpeace Publications., 2006b. We’re Trashin’ It; How McDonald’s is Eating Up Amazon. [daring] diakses pada tanggal 25 mei 2019.

 

Prasetiawan, Teddy. 2018. Upaya Mengatasi Sampah Plastik di Laut. Info Singkat. 10 (10) : 13 – 18.

 

Thompson, R.C, C.J Moore, F.S vom Saal and S.H Swan. 2009. Plastics, The Environment and Human Health: Current Consensus and Future Trends. Philos. Trans. R. Soc. Lond. B 364: 2153–2166.

 

Wright, S.L., R.C. Thompson and T. S. Galloway. 2013. The Physical Impact of Microplastics On Marine Organisms: A Review. Env. Poll. 178: 483-492.

 

  MENEBAR MANFAAT MELALUI  PENGABDIAN MASYARAKAT P engabdian masyarakat merupakan salah satu pilar dari Tri Dharma Perguruan Tinggi yang pel...